HUBUNGAN
DALAM KONSELING DAN INTERVENSI TERHADAP KRISIS
A.
Karakteristik
dan Dimensi Hubungan dalam Konseling
1. Unik/kesamaan
Hubungan konseling adalah hubungan yang unik. faktor-faktor yang menciptakan keunikan ini beragam salah satunya
karena perbedaan manusia. Faktor-faktor yang unik itu antara lain adalah sikap
konselor, perilaku dan karakteristik fisik, di samping sikap klien, latar
belakang, dan perilaku yang dibahas dalam bab sebelumnya. Keunikan ini membuat generalisasi
tentang konseling menjadi sulit. Aspek lain dari keunikan dalam hubungan
konseling adalah
perbedaan hubungan yang dibangun oleh setiap manusia. Di mana teman-teman,
kerabat, dan guru memiliki
pengaruh besar pada perilaku. Satu elemen yang unik dalam konseling adalah nasehat yang
diberikan, strukturnya
direncanakan dengan baik dan dijelaskan dalam kerangka prosesnya.
Elemen lain yang unik yang membedakan hubungan konseling adalah kemampuan
konselor untuk bersikap objektif serta terlibat secara emosional. Karena hubungan ini bersifat intim (sangat dekat), terstruktur, dan sikap, hubungan konseling juga memiliki kesamaan dengan
situasi manusia lainnya,
misalnya, keluarga, persahabatan,
guru-murid, dokter-pasien, dan pendeta-jemaat. Dalam arti lain,
hubungan konseling adalah perluasan dari proses kehidupan secara efektif.
2. Objektif/Subjektif
Cara kedua untuk melihat hubungan adalah dari keseimbangan objektivitas dan subjektifitas (Oppenheimer
1954). Keseimbangan ini mengacu pada tingkat emosional dan hal-hal yang mempengaruhi intelektual dan elemen
emosional. Objektivitas lebih mengacu pada kognitif, ilmiah, dan lazimnya suatu hubungan. Di mana klien dianggap sebagai obyek belajar atau sebagai
bagian dari manusia yang mengalami masalah atau penderitaan. Oleh karena itu, konselor akan memberikan pandangan kepada klien dan
nilai-nilai tanpa penilaian pribadi.
Arti perilaku konselor untuk klien adalah bahwa mereka merasa konselor
menghormati pandangan mereka, tidak memaksakan gagasan-nya pada klien, dan
melihat masalah mereka secara rasional dan analitis. Mereka ingin konselor
terlibat secara emosional dan menjadi pribadi yang bersangkutan dengan diri
mereka.
Elemen
subjektif dimaksudkan adalah sikap kehangatan dan kedekatan psikologis serta
ketertarikan yang mendalam pada masalah klien. Perilaku ini
sering digambarkan sebagai kepedulian. Sebaliknya, beberapa klien menganggap
keterlibatan konselor sebagai ancaman, karena dikirim untuk melakukan kontrol atau
untuk "mengungkapkan" diri mereka pada orang lain. mereka
mengalami kecemasan karena itu, terlalu merasa rentan (takut diserang) dan takut jika emosi mereka akan dikendalikan.
Perasaan cemas itu menguat ketika klien melihat konselor akan ikut campur
dengan perasaan mereka atau malah menolak perasaan mereka. Sifat
interaksi emosional tampaknya menjadi variabel kunci yang menentukan kualitas
hubungan, atau pertemuan.
Dalam
konseling objektivitas dan subjektivitas haruslah harmonis, di mana konselor
mengoperasikan dua posisi dan menggabungkan kedua elemen tersebut. Objektivitas
diperlukan dalam mendiagnosa, sementara subjektivitas diperlukan dalam
membangun suasana/iklim konseling itu sendiri.
3. Kognitif/Afektif
Elemen hubungan kognitif mengacu
kepada intelektualitas seperti bertukar informasi. Sedangkan unsur-unsur afektif mengacu pada
ekspresi perasaan dan perubahan, konselor harus tahu kapan untuk mendorong pengujian rasional
pada klien dan melakukan interpretasi terhadap masalah klien dan kapan harus mendorong eksplorasi perasaan
dan dan menghubungkan
dengan ide-ide mereka. Menurut Grater (1964) klien
memilih konselor yang mempunyai karakter kognitif dan afektif.
4. Ambiguitas/Kejelasan
Bordin (1955), menyatakan ambiguitas merupakan
karakteristik dari suatu situasi stimulus di mana orang-orang merespon secara
berbeda dan respon tidak ditunjukkan dengan jelas. Hubungan konseling adalah
kabur dan ambigu untuk klien. Ambiguitas melayani fungsi yang memungkinkan
klien untuk memproyeksi perasaan ke dalam situasi konseling. Proses memproyeksikan perasaan membantu
klien untuk menjadi sadar dan peduli tentang perasaan mereka, sehingga
memungkinkan konselor untuk mengetahui dan berurusan dengan mereka melalui
memperjelas teknik konseling. Terlalu banyak ambiguitas pada klien menyebabkan keanehan
dalam berhubungan di mana klien harusnya merasa aman dan terstruktur dalam
hubungannya.
Ada beberapa kebingungan dalam hubungan jika konselor
terlalu menjelaskan kepribadian
kepada klien atau menjadi terlalu akrab dengan klien. Misalnya, konselor berperilaku
lebih seperti seorang teman dibanding seorang konselor. Jika konselor terlalu
ramah dengan klien dalam arti bahwa mereka membiarkan diri mereka dikenal
terlalu dini serta-menggambarkan kepribadian, konselor akan menemukan bahwa
mereka merasa terdorong untuk "bertindak sendiri" terlalu kuat dalam
situasi wawancara. Jadi, wawancara mungkin didorong dalam arah pembicaraan
sosial atau pertemanan yang intim. Isu ini merupakan kontroversial, karena ada beberapa literatur yang
menekankan pada pentingnya seorang konselor untuk bersikap ramah dengan klien.
5. Responsibel/akuntabel
Tanggung jawab atau
menerima klien
dalam hubungan konseling menyiratkan kesediaan pada akuntabilitas dari konselor
untuk memikul beberapa tanggung jawab atas hasil konseling dan beberapa
kesediaan untuk berbagi dalam masalah klien. Klien juga memiliki tanggung
jawab, yang mereka menganggap sebagian besar itu adalah masalah mereka dan perilaku
yang dipertaruhkan. Kami merasa bahwa konselor tidak bertanggung jawab untuk
menjalankan hidup klien atau memilih nasihat. Bahwa klien bertanggung jawab
untuk menetapkan tujuan konseling karena dia memiliki masalah. Konselor mempunyai lebih banyak
pengaruh dari yang mereka sadari karena mereka mempunyai kekuasaan dan status
sebagai penyembuh.
6. Dimensi
Etika
Ciri khas dari konselor profesional adalah
penanganan etis dari hubungan klien, sehingga baik klien dan masyarakat
dilindungi. Kode yang merangkum prinsip-prinsip etis yang didasarkan pada
nilai-nilai sosial yang dominan. Untuk menutupi pertanyaan yang sering timbul
dalam konseling, Komite Standar Etika dari American Psychological Association
telah menerbitkan kode standar etika (1979); kode ini terus menerus direvisi
untuk mencerminkan perubahan dalam nilai-nilai budaya. Para Personil Amerika
dan Asosiasi Bimbingan (1981) juga mempublikasikan pernyataan revisi standar
etika yang awalnya dirancang untuk sekolah dan pengaturan kuliah konseling.
Kode APA mencakup prinsip-prinsip berikut, dinyatakan di sini dalam bentuk
sangat-disingkat dalam rangka untuk menunjukkan ide umum dari sembilan prinsip.
Hal ini penting bagi semua konselor dan menerapkan prinsip-prinsip, bagian-bagian
prinsip itu, dan standar untuk kasus-kasus tertentu. Adapun etika yang dimaksud adalah :
a. Tanggung jawab.
b. Kompetensi.
c. Standar Moral
dan Hukum.
d. Laporan Publik.
e. Kerahasiaan
f. Kesejahteraan konsumen
g. Hubungan profesional
h. Teknik pemanfaatan penilaian
i.
Pengadaan aktivitas penelitian
B. Karakteristik psikolog terapi
Anggapan dasar dalam membangun hubungan adalah kepribadian
dari konselor. Berdasarkan studi oleh Forgy dan Black (1954) menekankan bahwa
pribadi konselor dan gaya konselor sangatlah penting, meskipun mereka menemukan
bahwa hal ini merupakan interaksi pribadi konselor dan metode yang
diperhitungkan untuk perbedaan dalam keefektifan konseling. Seeman (1949),
dalam studinya mengenai konseling karir, menyimpulkan bahwa metode tidak begitu
penting dalam membedakan reaksi klien akan tetapi karakter hangat, ketertarikan
dan memahami yang penting.
Fiedler (1950) membandingkan tiga kelompok
yang berbeda dari terapis yang berpengalaman dengan tiga kelompok terapi yang
kurang berpengalaman. Fiedler menemukan bahwa untuk terapis yang berpengalaman,
kepribadian dan pengalaman dari pada metode yang berbeda-beda, diperhitungkan
untuk hasil yang berbeda dari teraupetic. Sementara penemuan Gardner menyatakan
karakteristik terapis berbanding lurus/positif dengan kemajuan klien. Ciri-ciri
dari terapis yang efektif adalah yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Keseimbangan
seorang ahli
Konselor dan psikoterapis memiliki dua
kekuatan dan dua keseimbangan, yaitu : skill dalam hubungan pribadi (interpersonal skill) dan kualifikasi
teknis. Para ahli klinis seperti Strupp (1963) mendukung pandangan ini.
Beberapa referensi dibuat dari data Rogers (1953), Truax dan Charkhuff (1964)
dan Combs (1969) dalam karakteristik hubungan yang fasilitatif dari konselor.
Mereka menemukan bahwa karakter hangat konselor, memahami, sikap positif,
pengalaman konkret konselor dan keterbukaan konselor menciptakan kondisi untuk
mengeksplorasi diri kilen. Karakter seperti ini akan menghasilkan perubahan
perilaku yang besar dalam diri klien lain halnya jika kondisi yang fasilitatif
tidak di hadirkan secara optimal.
Sebelum menggambarkan karakter konselor
secara lebih jauh, kita harus menekankan ulang pada poin-poin penting yang ada
dalam buku ini :
Ø Konselor
dan terapis bertugas dalam membantu orang lain dalam kapasitas profesional.
Tapi lebih penting mereka adalah manusia dengan kelemahan pribadi dan juga
memiliki masalah sendiri.
Ø Konselor
yang profesional adalah ahli dalam membantu orang lain, tapi mereka tidak
memakai solusi yang mistis, konseling dan terapi adalah bagian teknisnya,
selebihnya adalah efektivitas manusia melalui hubungan pribadi.
Ø Setiap
klien dengan ekspresi yang unik merupakan sifat alami manusia, hal ini harus
dipahami oleh konselor
Ø Konseling
dan terapi bisa dipandang sebagai tempat mengaktualisasikan dirinya.
Ø Penekanan
utama untuk meringankan konselor atau terapis haruslah pengembangan dari teknik
inti yang cocok dengan teori.
2. kompetensi
intelektual
Berhubungan dengan kompetensi
intelektual adanya persyaratan dari pengetahuan yang luas dari budaya yang
dimiliki melalui pendidikan umum dan kehidupan yang bervariasi. Intelektual dan
budaya yang luas juga merupakan hal yang signifikan, sejak di mulainya memahami
berbagai klien yang bervariasi. Kompetensi intelektual
diperlukan oleh seorang konselor untuk menguasai teori konseling dan
munggunakan secara tepat.
3. Spontanitas
Ketika bicara mengenai spontanitas hal
ini merupakan karakteristik dari aktualisasi kepribadian. Hal ini sudah di
sebutkan beberapa kali bahwa konseling bukanlah suatu aplikasi yang kaku yang
membuat perubahan sifat dan perilaku. Konselor harus dengan segera merespon
pernyataan klien terutama berkaitan dengan perasaannya. Konselor harus bebas
untuk bergerak secara natural, cepat, dan tenang dalam berfikir dan merasa
dalam rangka untuk beradaptasi dengan nuansa perilaku klien.
4. Penerimaan dan kepedulian
Pertanyaan yang sering muncul adalah seberapa besar
sikap dan perilaku bisa diubah oleh saran, persuasi, ataupun perlakuan. Sikap klien terlihat berubah secara efektif seiring berkembangnya sikap dari orang lain. Pengalaman
penerimaan klien terlihat misalnya : seperti perasaan memahami, cinta dan
kepedulian. Perilaku ini merupakan penerimaan yang positif adalah keseimbangan
dasar dari cinta altruistik (Sorokin 1950). Bukti dan logis dihadirkan dari
tulisan Fromm (1956), Montague (1950), May (1953), dan Sorokin (1950) menjadi
bukti terhadap kekuatan tereupetik dari cinta altruistik. Dalam beberapa tahun
lalu konselor mencari filosofi, teologi dan antropologi untuk konsep mereka
mengenai teraupetik berdasarkan cinta.
Ahli psikologi telah meneliti komponen
dari cinta melalui eksperimen dengan primata. Penelitian Harlow (1958)
melakukan studi dari mothering (mengasuh)
sebagai contoh. Dalam kontek studi perkembangan jangka panjang, Harlow
menemukan bahwa primata yang diberi makan dan dibesarkan dibawah kondisi yang
berbeda dari kondisi
asuhan induknya akan melahirkan perilaku yang
kurang adaptif yang mana dengan kata lain manusia akan digambarkan sebagai neurosis dan sosiopatic.
a) Asumsi
dasar yang mendasari penerimaan
Pertama,
penerimaan/menerima berdasarkan asumsi bahwa individu
memiliki martabat dan keberhargaan yang tidak terbatas. Dengan kata lain,
manusia itu bernilai tinggi. Asumsi kedua; orang memiliki hak untuk membuat
keputusan sendiri dan mengarahkan kehidupannya. Asumsi ketiga adalah bahwa
kilen memiliki kapasitas atau potensi untuk memilih secara bijak dan untuk hidup penuh, aktualisasi diri, kehidupan yang
berguna bagi sosial. Asumsi keempat bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk
diri dan kehidupannya sendiri. Sistem nilai konselor harus ditingkatkan dengan
kepedulian diri dan tanggung jawab diri dalam klien dan bagi dirinya sendiri.
Asumsi
dan atribut dari penerimaan berakar secara mendalam berdasarkan filosofi
demokratis Amerika, yang mana hal itu mendasari secara kuat dalam tradisi
budaya Hebraic-Christian. Posisi filosofi Leibnizian memandag manusia adalah
aktif, organisme yang tumbuh dan motivasi juga memiliki kontribusi. Kesimpulan
dari definisi penerimaan telah di susun oleh Rogers (1951) sebagai hal perilaku
positif mengarah kepada penghargaan diri dan bermartabat dengan hak untuk
membuat pilihan dan keputusan sendiri. Dan banyak orang memberikan postulat
bahwa elemen penting dari perilaku positif ini adalah cinta.
b) Penerimaan terhadap diri sendiri
Ada
beberapa bukti bahwa ide mengenai
penerimaan dari orang lain berdasarkan pada penerimaan terhadap
diri sendiri, dan ini berdasarkan pada
penrimaan dari orang lain. Beberapa tahun
penelitian awal (Phillips 1951; Sherman 1945; Zelen 1954) memberikan poin
kepada signifikan dari penerimaan diri dan penghargaan diri. Sebagai perilaku lainnya sebagai
dasar untuk penerimaan terhadap orang lain. Penemuan ini siginifikan untuk
konselor adalah bahwa mereka harus menerima dirinya sebelum mereka bisa
menerima klien karena ini akan membantu mereka.
c) Nilai dari penerimaan
Poin
penting dari signifikan untuk penerimaan perilaku adalah keterlibatan klien
dalam proses konseling,
klien merasa bahwa konselor sangat peduli tentang apa yang mereka pikirkan dan
rasakan, hal itu mengggambarkan bahwa konselor bisa dan ingin membantu mereka.
Nilai kedua adalah perilaku itu akan berefek kepada psychological climate (iklim psikologis) dari wawancara. Yang
dimaksud dengn iklim psikologis ini artinya nada emosional yang dihasilkan dari
interaksi pribadi klien dan konselor. Iklim ini bisa di sebut dengan
kehangatan, dingin, serius atau sembrono. Nilai ketiga adalah efek mempertahankan sikap bertahan. Bahwa individu
memiliki mekanisme perlindungan diri, seperti penolakan, rasionalisasi. Maka
dengan penerimaan klien akan terbuka.
d) Penerimaan-kenapa
tidak
Approval or agreement
atau persetujuan bukanlah penerimaan. Penerimaan konselor adalah sebagai
persetujuan atas apa yang dikatakan dan dirasakan klien. Miskonsepsi pertama;
Klien pada awal proses konseling mungkin saja salah memaknai perilaku
penerimaan konselor sebagai persetujuan dengan apa yang mereka katakan dan
rasakan adalah resiko konseling yang sebenarnya. Miskonsepsi kedua; boleh jadi
perilaku netral. Penerimaan positif merupakan perilaku aktif kepada
klien. Dimana efeknya “saya suka kamu bahkan jika saya tidak perlu setuju
secara pribadi dengan apa yag kamu pikirkan atau rasakan” atau yang lainnya
“saya mengerti, saya hargai dan nilai atas ide dan perasaan yang ada pada mu,
ini esensi diri mu tidak masalah bagiku tapi apa yang kamu lakukan dan
katakan”. Yang ketiga adalah simpati. Maka konselor melibatkan emosinya ketika
klien melibatkan emosinya juga. Penerimaan pembicaraannya yaitu “saya memahai bagaimana perasaan mu,
meskipun saya tidak merasakan secara pribadi bagaimana kamu merasakannya”.
Simpati menekankan sebagai alat support, yang dimiliki bertujuan untuk meminimalisir
perasaan dari klien. Perilaku simpati seperti “kamu orang yang menyedihkan,
saya merasa sedih pada mu sejak kamu tidak bisa membantu dirimu sendiri. Yang
keempat mis-interpretasi mengenai penerimaan adalah mengenai toleransi. Meskipun toleransi adalah
perilaku sosal yang sangat diinginkan, dalam hubungan proses konseling, tapi
hal ini tidak bisa diikutkan. Hal ini akan berimplikasi pada penerimaan negatif
dari pada positifnya. Perilaku toleransi berimplikasi bahwa adanya
karakteristik seperti perbedaan ras, yang mana konselor harus sadar tentang
bagaimana perasaan klien yang di berikan toleransi.
5.
Empati dan Memahami
Konselor yang efektif tampaknya harus dapat lebih memahami klien,
(Fiedler 1950; Heine 1950). Porter (1949) membuat perbedaan yang bermanfaat
antara pemahaman dan pengertian diagnosa terapi. Pengertian diagnosa mengacu pada deskripsi kecerdasan
perilaku klien. Contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui
pengujian atau pengamatan untuk membuat penilaian diagnostik untuk digunakan
dalam perencanaan karir. Aspek pemahaman memungkinkan konselor untuk
membuat prediksi tentang perilaku yang jelas tentang klien dan deskripsi diri
mereka.
Pengertian terapi mengacu pada
reaksi perasaan dari konselor yang memungkinkan klien untuk merasa dimengerti,
diterima dan berempati. Sikap terapeutik menekankan pemahaman tentang klien bagaimana
mereka melihat pengalaman mereka. Gendlin (1962) menyatakan dengan tepat pengertian
empati adalah merasakan makna yang klien alami sehingga untuk membantu klien
fokus pada arti itu. Terapi pemahaman muncul ketika dalam berhubungan konselor
memilki pengetahuan yang cukup tentang klien (Fiedler dan Senior 1952).
Terapis yang efektif, meskipun tidak mampu memprediksi klien
mereka mampu mendeskripsi diri klien jauh lebih baik daripada para terapis yang
kurang efektif (Fiedler 1950; Luft 1950), ini dinilai signifikan dan lebih baik
dalam kemampuan mereka untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang hangat,
menerima. Dalam hubungan ini, salah satu temuan yang signifikan Fiedler
adalah bahwa ada kesepakatan substansial antara terapis terampil dari tiga
sekolah yang berbeda dari terapi seperti apa hubungan terapeutik merupakan yang
ideal. Para terapis terampil sekolah yang berbeda sepakat lebih dengan
satu sama lain pada definisi hubungan yang ideal dibandingkan dengan anggota
terampil dari sekolah mereka sendiri (Fiedler 1950). Jika hasil Fiedler
dapat diinterpretasikan pada nilai nominal, tampaknya bahwa pemahaman terapi
terkait erat dengan kompetensi terapeutik.
Bukti yang ada tidak semua positif, namun studi Lesser itu (1961),
meskipun terbatas dalam lingkup ke beberapa konselor dan klien saja, menemukan
bahwa ide yang diterima secara umum pemahaman empatik yang terkait dengan
kemajuan klien tidak berhubungan. Meskipun semua klien di ruang kerjanya
membuat kemajuan yang diukur oleh Q-Sorts [1]) pada persepsi
diri yang ideal, kemajuan ini tidak berhubungan dengan tindakan pada skala
pemahaman empatik.
Truax dan Carkhuff (1963, 1964) menemukan bahwa upaya yang
sensitif dan akurat pada pemahaman terapeutik klien sangat
fasilitatif. Ini merupakan respon empatik terhadap klien, yang berarti
klien menganggap konselor telah mengerti. Truax dan Carkhuff menemukan
bahwa kehangatan non posesif dan keaslian konselor adalah variabel yang di
samping untuk memahami, mendorong pertumbuhan klien. Alasan untuk
efektivitas dinyatakan oleh para peneliti sebagai berikut:
Semakin
besar tingkat pemahaman yang akurat empatik terapis klien, semakin besar sejauh
mana terapis menunjukkan kehangatan tak bersyarat atau nonpossessive atau
integrasi terapis dalam hubungan itu, dan terapis lebih intens dan intim dalam
hubungan, semakin besar akan tingkat eksplorasi antarpribadi klien dan semakin
besar akan tingkat akibatnya perilaku positif. (1964,
p.861)
Dengan kata lain, jika konselor menghadirkan kondisi seperti yang
dijelaskan di atas dalam hubungan, klien merasa lebih bebas untuk menjadi diri
sendiri dan menghadapi masalah mereka. Empati telah ditekankan sebagai
variabel kunci dalam keberhasilan konseling. Konselor yang efektif ternyata
membutuhkan diagnostik yang baik dan terapi
pemahaman.
Kerangka Acuan
Internal.
Konsep lain yang berguna dalam memahami klien dan dalam membantu
konselor atau psikoterapis untuk memahami arti empati adalah
kerangka referensi internal (Porter 1950; Rogers 1942). Konsep
ini didefinisikan sebagai upaya konselor untuk melihat dunia fenomenologis
klien seperti yang terlihat oleh klien. Ini berarti usaha untuk berpikir
dengan, bukan untuk atau tentang klien. Rogers mengutip contoh dari
pikiran konselor saat ia mengasumsikan peran ini :
Untuk
bantuan kepada Anda saya akan menyisihkan interaksi-diri -dan dimasukkan ke
dalam dunia persepsi Anda sepenuhnya seperti aku mampu. Aku
akan menjadi, dalam arti, diri lain Anda-alter ego sikap dan perasaan
Anda sendiri -sebuah kesempatan yang aman bagi Anda untuk melihat diri Anda
lebih mahal, untuk mengalami diri lebih benar dan dalam, untuk memilih lebih
signifikan. (L 951, hal
35)
Sebuah contoh dari pemikiran seorang konselor dari kerangka
acuan eksternal yaitu,
"Apa yang menyebabkan kesulitan ini, dan mengapa dia begitu sibuk dengan
masalah perkawinan?" Konselor berpikir, "Orang ini berada dalam
kondisi buruk; Aku harus mencari tahu apa yang salah dan mencoba untuk
membantunya menyelamatkan pernikahannya." Sebuah contoh dari internal
frame, "Anda lihat ini sebagai pengalaman yang sangat mengganggu, dan Anda
ingin melakukan sesuatu tentang hal itu." Konselor berpikir,
"Aku harus mencoba untuk memahami bagaimana ia melihat masalah ini dan
untuk membantu dia mengklarifikasi pemikiran sendiri tentang hal ini sehingga
ia dapat membuat keputusan sesuai dengan kepentingan terbaik dari semua yang
bersangkutan."
Sebagai bantuan dalam mengkonseptualisasikan masalah mengacu
kepada klien, lihat Gambar di atas (Shostrom dan Brammer 1952). Pada tahap
(1) klien dan konselor berada dalam situasi interaksi sosial dimana S biasa
mendengarkan dan berbicara C. Persepsi sebagian besar
terbentuk atas dasar pengalaman masa lalu yang unik dari setiap
peserta. Setiap bergerak menyusuri jalannya pengalaman masing-masing
seperti di tahap (3).
Ketika konselor menganggap kerangka referensi internal,
bagaimanapun, mereka mencoba untuk membuat kerangka kerja sesuai dengan
persepsi mereka bahwa dari klien seperti di tahap (2) dari Gambar
12. Tahap (4) menggambarkan apa yang terjadi ketika konselor mencoba untuk
masuk ke jalur klien. Setidaknya untuk sementara, mereka berusaha untuk
tidak berpikir dan merasa seperti klien.
Belajar untuk mengasumsi kerangka internal referensi dan untuk
tinggal di dalamnya tampaknya akan sangat sulit. Sebagai salah satu
renungan alasan untuk kesulitan ini, contoh berikut dapat dipertimbangkan. Perbedaan
bahasa merupakan kendala utama. Sebagai orang dewasa mencoba untuk
memahami remaja atau anak, atau sebagai orang timur mencoba untuk mengerti dalam
istilah barat, tampaknya bahwa simbol yang digunakan memiliki arti yang berbeda
untuk orang yang berbeda. Ini adalah masalah. Semantik yang menerima
banyak perhatian dalam literatur psikolinguistik tahun terakhir. Perbedaan biologis jelas
penghalang lain. Kesulitan yang dialami sebagai seorang pria mencoba untuk
menganggap kerangka acuan feminin, dan sebaliknya. Pertanyaan tentang bagaimana
seorang konselor memanifestasikan kualitas empati dijawab oleh kualitas respon
verbal yang menangkap pesan perasaan penting dari klien. Mencerminkan
pesan-pesan dengan kepedulian klien dengan perasaan hangat dipahami.
6.
Kehangatan dan Pertemuan Manusia
Erat hubungannya dengan pengertian terapi, peduli, dan sikap
penerimaan kehangatan, istilah
yang digunakan untuk menggambarkan suatu aspek dari hubungan. Kehangatan muncul
untuk menghilangkan sensitif, ramah, elemen perhatian dan responsif dari
kepribadian konselor. Relasi adalah ungkapan yang mudah digunakan orang
untuk menggambarkan suatu aspek dari kehangatan. Kehangatan merupakan
dasar untuk hubungan yang efektif. Truax dan Carkhuf (1964) dengan skala
penelitian mereka menemukan bahwa
kehangatan yang tidak mengekang adalah terapi yang
efektif, dan bahwa semakin tinggi tingkat variabel ini lebih banyak bukti
perubahan kepribadian konstruktif dicatat.
Pertimbangan lain yaitu menghormati klien untuk mewujudkan
kehangatan. Sikap konselor menyampaikan perasaan kepada klien bahwa mereka
layak dihormati (perasaan yang banyak klien tidak memiliki untuk diri mereka
sendiri). Pertimbangan juga ditampilkan dengan kesopanan dalam komunikasi
sosial, seperti menawarkan kursi dan menunjukkan kepedulian untuk kenyamanan
klien. Pertimbangan ditunjukkan melalui kepedulian terhadap klien sehingga
mereka merasa mereka adalah orang-orang penting dan berguna untuk konselor,
bukan hanya subyek penelitian atau praktek "kelinci percobaan." Bugental
(1964), menggambarkan terapis yang matang, menggunakan istilah pertemuan
untuk menggambarkan kesediaan terapis "berada bersama" klien dan belum
bertanggung jawab. Konselor berfungsi sebagai model untuk keaslian.
Manifestasi eksternal lain, kehangatan dalam sebuah hubungan adalah senyum
yang jujur. Perilaku ini adalah uji keaslian sikap konselor. Klien
dapat merasakan saat konselor "hanya mencoba untuk menjadi baik" dan
ketika mereka mengalami kesenangan sejati dalam mengetahui klien mereka sebagai
orang yang berbeda.
7.
Kebebasan
Sikap wajar dari penerimaan mencirikan kebebasan dan kurangnya
otoriter dan sikap menghakimi dalam kepribadian konselor. Permisif
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebebasan terapeutik, tetapi
konotasi negatif yang masih ada harus berkurang akurasi deskriptifnya. Konselor
mengatakan, "Anda dapat mendiskusikan apapun yang anda inginkan di sini
tanpa takut dihakimi". Konselor
memungkinkan klien memiliki kebebasan untuk tumbuh dan menjadi diri sendiri.
Jika dibiarkan terlalu banyak ekspresi bebas, klien mungkin takut
kehilangan kendali emosi dan menderita kecemasan. Seperti yang ditunjukkan
dalam pembahasan katarsis, terlalu bebas ungkapan perasaan dapat berfungsi
untuk mengikis struktur klien defensif ke titik di mana mereka berada dalam
kekuasaan perasaan mereka dan dapat bergerak ke arah psikosis. Seorang konselor
yang terlalu permisif bisa sangat kejam untuk klien yang rentan terhadap
kecemasan. Peran otoritas konselor sering memungkiri upaya untuk memperoleh
sikap permisif. Penghargaan pribadi konselor, pengetahuan
khusus, dan profesional "halo" membuat suasana kebebasan berekspresi
sulit untuk dicapai. Konselor paling otoriter menggunakan status mereka
untuk mendesak klien mencapai tujuan tertentu atau, setidaknya, untuk memilih
isi dari wawancara. .
8. Kesesuaian dan
keterbukaan
Branan (1967) menemukan
bahwa pengalaman diri konselor
tidak meningkatkan keaslian konselor.
Berbagai istilah digunakan
untuk menggambarkan kondisi keaslian,
harmoni keterbukaan realitas, dan keaslian. Mereka
harus menampilkan diri sebagai
orang yang nyata dalam pertemuan
wawancara. Dalam penelitian Truax dan Carkhuff
(1964), ada kecenderungan yang signifikan bagi konselor dinilai tinggi pada keaslian
dan skala kongruensi diri untuk memiliki klien yang dinilai paling
baik atau memiliki perubahan
kepribadian yang paling konstruktif.
Konselor harus jujur dan tulus dalam bersikap. Agar benar-benar
jujur, konselor mengakui terus terang kesalahan mereka sendiri bahwa mereka membuat kesalahan
penilaian dan teknik. Terapis dapat lebih mudah mengenali dan memperbaiki
kesalahan ketika mereka bisa mengakui kemungkinan kesalahan mereka.
Bugental (1964), menggambarkan karakteristik dari terapis matang,
menyebutkan kerendahan hati sebagai konsekuensi dari kesadaran konselor tentang pengetahuan
mereka yang terbatas dan kekaguman mereka terhadap pertumbuhan
potensial. Bugental menyebutkan lebih lanjut perlu menerima rasa bersalah
normal untuk menjadi terapis. Kondisi ini terjadi ketika terapis sensitif
menyadari bahwa mereka tidak melakukan semua yang bisa dilakukan untuk orang
yang percaya hidup mereka kepada mereka. Ini adalah ilustrasi lebih lanjut dari
perlunya konselor untuk menghadapi manusia dalam hubungan konseling sangat
sensitif.
Studi Truax dan Carkhuff menemukan bahwa konselor yang efektif adalah yang
dapat sensitif dan akurat memahami klien, membiarkan diri untuk mengekspresikan
kehangatan, tulus, dan masih mempertahankan integritas mereka dalam hubungan. Kondisi ini mendorong klien untuk
mewujudkan karakteristik yang sama, sehingga memperdalam ekrplorasi diri dan
kesadaran diri, yang kemudian membuat perubahan kepribadian yang mungkin lebih
konstruktif. Untuk membantu mengatasi kecenderungan dalam penyesuaian, studi
pencocokan klien dan konselor telah dilakukan. Fry dan Charron (1980),
misalnya, menemukan bahwa dalam studi mereka tentang gaya kognitif menggambarkan klien
meningkatkan kompatibilitas eksplorasi diri mereka dan kemudahan berhubungan
dengan konselor mereka. Temuan umum telah dikonfirmasi dalam studi serupa
(Packer dan Bain 1978; Meara, Shannon, dan Pepinsky 1979).
9. Fleksibilitas
Carner (1949) dalam
studinya menyatakan bahwa karakter yang juga penting bagi konselor adalah
fleksibilitas. Terapis harus fleksibel dalam penggunaan teknik-teknik konseling. Kadang-kadang mereka harus obyektif dan
pada waktu lain subjektif. Seringkali mereka memanfaatkan teknik yang terutama
afektif; di tempat lain mereka terutama kognitif. Sebagai contoh, mereka dapat
menjelaskan tentang tanggung jawab klien untuk membuat kejelasan; di tempat lain
mereka sengaja mendorong ambiguitas. Kadang-kadang konselor fokus pada aspek
masalah klien yang umum untuk pria dan wanita. Kemudian lagi, konselor dapat fokus pada
masalah unik dari klien tertentu. Inti dari pandangan sintesis kreatif adalah
fleksibilitas dalam memanfaatkan semua pendekatan dan metode sebagaimana yang
tampak sesuai dan efektif dalam mencapai hasil yang baik.
C.
Dukungan
dan Krisis
1. Sifat
dasar dukungan
Hubungan terapeutik, menjadi jembatan
untuk pengembangan kesadaran dan tindakan, memberi
peranan yang mendukung. Seperti yang kita
katakan sebelumnya, kesadaran pengurangan kecemasan dan rasa aman pada klien
adalah hasil dari respon emosional yang sesuai dari konselor. Dukungan dapat
dilihat dalam empat cara. Pertama adalah
fleksibilitas dan waktu. Hal ini berarti bahwa terapis dapat menerima klien
setiap waktu. Tipe kedua dari dukungan yaitu
meyakinkan klien dan mengurangi keadaan stres bagi klien yang mengalami kerugian atau terluka, terutama pada
fase awal konseling. Dukungan ketiga bahwa konselor menganggap klien
sebagai orang yang bertanggung jawab.
Dan dukungan yang keempat dalam bentuk
intervensi krisis, yang dijelaskan pada bagian berikutnya.
2. Manajemen
krisis
Krisis diproduksi oleh dua sumber peristiwa yaitu kejadian eksternal
seperti bencana, kematian dalam keluarga, pengangguran tiba-tiba, atau sakit
parah, dan kejadian internal. Sumber internal, sementara diperburuk oleh
peristiwa eksternal, adalah kondisi seperti perasaan bunuh diri, alkoholisme
akut, putus asa, atau perjalanan obat buruk. Krisis yang ditandai oleh stres
yang parah, gangguan rutinitas kehidupan, frustrasi akut dan perasaan cemas dan
tidak berdaya. Dalam masyarakat Barat krisis biasanya dilihat sebagai masalah
berat untuk dipecahkan, sedangkan
di beberapa masyarakat Timur misalnya, Cina simbol bahasa merupakan krisis. Dari sudut pandang aktualisasi, konselor perlu
menanyakan bagaimana metode krisis mendapatkan klien dari
kenyamanan dan ekuilibrium ke tingkat yang lebih tinggi dari pertumbuhan.
Setidaknya ketika krisis telah berlalu klien harus bertanya pada diri sendiri
apa yang mereka pelajari dari pengalaman itu.
Keterampilan untuk mengelola krisis disajikan secara rinci dalam Hubungan
Membantu : Proses dan Keterampilan (Brammer
1979).
Lavelle (1979) membandingkan dua gaya berurusan dengan krisis-perilaku dan afektif. Gaya afektif menekankan klarifikasi sebab dan akibat, menghubungkan perilaku sekarang dan masa lalu, dan meringkas tema umum. Gaya perilaku menekankan menyelidik, perintah terfokus, analisis formal kesulitan klien dan potensi menyarankan. Gaya perilaku menimbulkan pernyataan signifikan lebih alternatif-terkait masa depan, namun pernyataan mengatasi secara signifikan lebih sedikit dibandingkan dengan gaya afektif. Salah satu implikasi untuk gaya konseling adalah stres fleksibilitas dan peran ganda untuk intervensi krisis.
Lavelle (1979) membandingkan dua gaya berurusan dengan krisis-perilaku dan afektif. Gaya afektif menekankan klarifikasi sebab dan akibat, menghubungkan perilaku sekarang dan masa lalu, dan meringkas tema umum. Gaya perilaku menekankan menyelidik, perintah terfokus, analisis formal kesulitan klien dan potensi menyarankan. Gaya perilaku menimbulkan pernyataan signifikan lebih alternatif-terkait masa depan, namun pernyataan mengatasi secara signifikan lebih sedikit dibandingkan dengan gaya afektif. Salah satu implikasi untuk gaya konseling adalah stres fleksibilitas dan peran ganda untuk intervensi krisis.
Metodologi dan strategi intervensi krisis telah menjadi bidang khusus untuk membantu. Selain keterampilan menolong
biasa, terapi obat dapat menjadi tambahan medis berguna dalam rasa sakit emosional
yang parah. Tujuannya biasanya restorasi ke ekuilibrium precrisis. Aguilera dan
Messick (1974) meringkas langkah dalam intervensi krisis sebagai: (1) Penilaian
orang dan masalah (misalnya, bahaya bagi diri sendiri atau orang lain?), (2)
Perencanaan intervensi (misalnya, untuk mengembalikan keseimbangan), (3) intervensi untuk
mengeksplorasi perasaan, mendapatkan pemahaman intelektual, mengesplorasi
mekanisme koping dan membuka kembali dunia sosial, (4) resolusi krisis (
misalnya, memperkuat mekanisme bertahan).
Model Rusk (1971) adalah model proses kedua digunakan secara luas dalam
pekerjaan krisis.
Langkah Rusk
adalah: (1) Penasihat menyajikan diri sebagai penolong yang bersangkutan, (2)
Klien didorong untuk mengekspresikan dan mendiskusikan pengaruh, (3) Penasihat
berempati dengan
menyatakan pengaruhnya, (4) Penasihat mendapat informasi
tentang situasi krisis, (5) Penasihat membantu klien merumuskan pernyataan
tentang masalah, (6) Konselor dan klien menyepakati strategi untuk mengatasi
stres yang disebabkan krisis, (7) Konselor dan klien meninjau dan menerapkan
strategi untuk pengelolaan stres dan cara-cara mengatasi stres di masa depan.
Jenis yang paling umum dari krisis adalah terkait hilangnya orang yang dicintai, pekerjaan berharga,
kesehatan, atau kekuatan fisik. Sebagai contoh, Kubler-Ross (1975) telah
menggambarkan lima tahap orang menghadapi kematian melalui : pengingkaran dan isolasi, kemarahan,
tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Bagian dari tugas konseling adalah
membantu klien bekerja melalui tahap ini.
3. Nilai
dukungan
Sebuah hubungan yang mendukung
memiliki empat nilai terapi utama. Salah satu nilai
utamanya adalah membantu mengurangi kecemasan berlebih dan akibatnya
mengembangkan keamanan dan kenyamanan. Kehadiran
emosional terapis memungkinkan klien untuk merasa berharga, dicintai dan
dihormati. Sementara
fokus di sini adalah pada dukungan melalui hubungan konseling, kita harus
menyadari bahwa sebagian besar dukungan untuk orang dewasa muda paling tidak, datang melalui
persahabatan. Sebuah studi ekstensif oleh Parham dan Tinsley (1980) mengungkapkan
bahwa dewasa muda melihat penerimaan dari teman-temannya dan dapat dipercaya.
Yang tak kalah penting adalah empati, keahlian, dan keterusterangan. Sementara
peserta yang menghindari konselor profesional untuk membantu masalah emosional, mereka cenderung, pertama,
untuk mencari teman yang terbuka, tulus, berani, menerima, dan memelihara. Temuan ini sesuai dengan
penelitian tentang mengapa orang dewasa muda pilih teman-teman untuk bantuan
daripada terapis profesional (Tinsley dan Harris 1976).
Nilai kedua dari dukungan memberikan keyakinan kepada klien
bahwa mereka dapat dibantu, misalnya,
bahwa mereka dapat membuat rencana yang realistis, bahwa mereka dapat
meningkatkan studi mereka, atau bahwa mereka mungkin akan menyelamatkan
pernikahan mereka. Klien dalam keadaan kecemasan sering memiliki perasaan putus
asa tentang masalah mereka. Konselor menenangkan, menerima dan meyakinkan klien, sehingga mereka memiliki harapan dan
keyakinan di masa depan.
Nilai ketiga dari dukungan adalah kesadaran memberi klien kebebasan untuk
mengubah pandangan atau perilaku mereka. Dengan sepenuhnya menerima mereka,
konselor mengatakan, pada dasarnya, bahwa meskipun tidak setuju dengan klien, konselor dapat menerima pandangan
klien saat itu. Dengan demikian, klien tidak diberikan keyakinan bahwa mereka
benar tentang pandangan mereka saat ini.
Nilai keempat dari
dukungan adalah
mencegah klien menerima solusi yang
salah untuk masalahnya. Ini mendorong
orang bunuh diri, misalnya, untuk mengeksplorasi alternatif untuk bunuh diri.
Klien dapat merasa bahwa mereka tidak harus mengambil tindakan impulsif yang
dapat membuat mereka kesulitan bahkan lebih buruk. Keramahan dapat
mendukung klien sampai ia lebih mampu bekerja secara rasional pada masalah-nya.
4. Batas
dukungan
Batasan
pertama adalah dukungan yang berlebihan pada klien yang bersalah ketika mereka
menyadari ada ketergantungan pada konselor. Batasan kedua adalah ketergantungan
yang kuat yang dapat berkembang melalui dukungan
berkepanjangan.
Batasan ketiga adalah dukungan yang disalahartikan
yakni simpati. Batasan keempat adalah adalah
penyesalan atau kebencian terhadap kedangkalan dan keyakinan bebas.
BAB III
KESIMPULAN
Hubungan psikoterapi dan konseling
memiliki beberapa dimensi dasar, seperti keunikan-kesamaan,
objektivitas-subjektivitas, kognitif-afektif, kejelasan ambiguitas-dan tanggung
jawab-akuntabilitas. Konselor
memiliki tugas untuk
mengenali dan
berurusan dengan tepat unsur-unsur yang tampaknya paradoks dari hubungan. Karena efektivitas terapi bergantung begitu banyak pada
kualitas hubungan antara konselor dan klien, sikap dasar konselor adalah sangat
signifikan. Sikap penerimaan dan pengertian memiliki konsekuensi yang cukup
pada iklim psikologis wawancara. Ini iklim yang membuat sikap-sikap ini
memiliki implikasi penting untuk evaluasi kepribadian klien sendiri. Sebuah kunci untuk iklim
sikap yang efektif adalah konselor dengan asumsi kerangka referensi internal,
yang merupakan upaya untuk memahami klien dengan mengambil pandangan klien
tentang situasinya. Konselor harus memiliki karakteristik tambahan kehangatan,
kecerdasan, kerendahan hati fleksibilitas, dan kesediaan untuk berbagi tanggung
jawab.
Salah satu fungsi utama dari hubungan
ini adalah untuk memberikan dukungan bagi klien, terutama dalam krisis. Dukungan kenyamanan dan
keamanan melalui pembangunan kondisi optimal hidup. Dukungan umumnya dianggap
menjadi tujuan konseling psikologis dan sering merupakan kondisi yang diperlukan
sebelum solusi lebih kognitif dapat ditemukan.
REFERENSI
Brammer, L.M & Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology. New Jersey :
Prentice-Hall. Inc.
[1]) Suatu alat assesmen
atau teknik penilaian di mana subjek
memilah-milah pernyataan deskriptif, yang lazimnya tertulis dalam kartu atau lembaran kerja, dan
menyusunnya menurut distribusi normal, atau dari yang sangat cocok sampai pada
yang paling tidak cocok; dalam latar konseling, klien dapat menilai dirinya dan
menyusun kartu-kartu
pernyataan tadi, atau orang lain yang melakukannya; sebagaimana digunakan
oleh rogers sebagai suatu ukuran statetmen berkenaan dengan diri (self) dan
diri-idaman (ideal-self).